Oleh : Anthoni Ramli (Jurnalis Babel)
BE
Pangkalpinang, Buletinexpres.com — Pribahasa “KETEMPOH” mungkin tidak terdeteksi di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Begitu juga ketika kita searching di google, bahkan Wikipedia.
Jangan harap apalagi mimpi Pribahasa “KETEMPOH” bisa di jumpai. Jika pribahasa ini asing bagi KBBI, google, Wikipedia sekalipun, namun tidak dengan masyarakat Bangka Belitung.
Khususnya, mereka yang tinggal di pelosok pulau Bangka. Pasti tak asing mendengar pribahasa “KETEMPOH”. Meski terasa tak asing, namun penulis masih sungkan menjabarkan definisi “KETEMPOH”.
Karena apa, ternyata saat searching kamus bahasa Bangka di google pun penulis tidak menemukan arti “KETEMPOH”. Ada yang bilang artinya Ketemu, Ketingok, dan lain sebagainya. Tapi Ah sudahlah, kita to the point ke pokok permasalahan.
Biar pro kontra soal pribahasa “KETEMPOH” itu dijabarkan
Atok Kulop panggilan sehari hari penulis sekaligus budayawan Bangka Belitung, Ahmadi Sofyan.
Mungkin saja definsi “KETEMPOH” ini telah dijabarkan di beberapa karya tulis sang Atok Kulop.
Bagi penulis belakang pribahasa “KETEMPOH” ini sarat dengan warna dan keanekaragaman. Baik dari gaya hingga cara berpose. Bahkan soal warna sekalipun, bak mirip ciptaan tuhan “PELANGI”. Warnanya Merah, Kuning, Hijau di langit yang Biru.
Kalau konteknya sudah bicara warna, itu pertanda apa? Boleh tidak lantas penulisan mengaitkan itu pertanda Pemilihan Umum (Pemilu) sudah dekat?.
Mungkin di lingkungan sekitar kita acap kali mendengar istilah atau tudingan soal warna. Misalnya
itu orang merah, itu orang kuning, itu orang biru. Seolah, warna tersebut menyiratkan arah atau identitas politik seseorang.
Hari ke hari jumlah warna-warna tersebut kian menjamur. Apalagi kontestasi Pemilihan Calon Presiden (Pilres) dan Calon Legislatif (Caleg) yang tersisa kurang lebih 45 hari lagi.
Tengok saja, kiri kanan jalan, gang atau persimpangan, banjir akan baliho dan poster para Caleg. Lain dengan Calon Presiden (Capres) yang jumlah spanduk dan posternya hanya segelintir dan di pasang di tempat tertentu saja.
Sepanjang jalan mata memandang mereka seperti tebar pesona berharap meraih hati dan simpati masyarakat. Jujur sejatinya pemandangan tersebut menggelitik. Kalau di sebut mengganggu tikak, hanya kurang sedap dipandang mata.
Secara kasat mata bisa dikatakan mereka egois. Kok demikian?. karena terkadang baliho dan bendera yang mereka pasang tak mengenal tempat. Entah itu fasilitas umum, lahan orang yang terpenting bendera atau spanduk jagoan mereka terpasang.
Tapi sudah maklumi saja. Coba posisikan diri kita seperti mereka. Mungkin jauh lebih brutal dan semena mena. Kita sadar, hari ke hari, waktu ke waktu hasrat orang untuk menjadi Caleg terus meningkat.
Bukan tanpa alasan, gaji dan tunjangan semakin gede. Apalagi konon katanya Perpres terbaru tunjangan naik berlipat lipat ganda. Jadi wajar jika diperebutkan.
Pendapatan gede, bukan berarti biaya politik yang mereka gelontorkan kecil. Bahkan terkadang ada Caleg yang mengklaim jika pendapatan mereka tak sebanding dengan cost politik yang mereka gelontorkan.
Namun tak sedikit pula Caleg dadakan dan musiman lima tahun sekali turut meramaikan kontestasi politik.
Cukup tidak usah diperdebatkan lagi. Intinya Caleg tidak akan sepi peminat. Inilah salah satu bukti demokrasi di Negeri kita. Yang terpenting jangan sampai perbedaan warna tadi mengancam stabilitas dan kondusifitas Negeri. Apalagi sampai memecah belahkan anak Bangsa. Pilihan boleh beda, tapi tujuan sama wujudkan Pemilu aman, damai dan berintegritas. (Red/BE).