Gaduh Isu 3 Miliar di Balik Praperadilan Bos PT GFI Franky

Oleh : Anthoni Ramli (Jurnalis Bangka Belitung)

 

BE

Pangkalpinang, Buletinexpres.com — Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah tersebut mungkin tepat disematkan kepada korps Adhyaksa di Provinsi Bangka Belitung.

Bagaimana tidak, mereka yang punya produk hukum, mereka justru yang di terpa kabar tak sedap.

Mereka disebut-sebut menerima uang pelicin di balik vonis bebas Praperadilan bos PT. Green Forestry Indonesia (GFI) Franky.

Yang mencengangkan nominal uang pelicin yang kabarnya diterima oknum jaksa di Bangka Belitung dari kasus dugaan korupsi PT GFI milik bos Franky tersebut mencapai Rp 3 Miliar.

Terlepas benar atau tidaknya, isu tersebut sempat membuat gempar publik. Apalagi dugaan suap tersebut berhembus pasca Hakim tunggal Pengadilan Negeri Pangkalpinang Anshori Hironi S.H. memenangkan dan mengabulkan gugatan Praperadilan tersangka Franky.

Bahkan isu tersebut telah menjadi konsumsi publik dan tranding di sejumlah platform media online di Bangka Belitung. Termasuk, di lingkungan korps Adhyaksa.

Kegaduhan tersebut sempat memantik dan menarik perhatian khalayak banyak. Apalagi, bukan mejadi rahasia umum kebanyakan gugatan praperadilan tersebut ditolak.

Kalau pun ada, istilahnya dari seribu paling cuma satu yang dikabulkan Hakim.

Maka dari itu selain khalayak ramai, kegaduhan tersebut juga menggelitik dan mengundang tanda tanya penulis.

Benarkah, Kejaksaan berani mempermainkan harga dan jati diri mereka atas produk hukum mereka sendiri?.

Terlebih, produk hukum yang mereka tangani ini bukan kaleng-kaleng. Dari keterangan penyidik kerugian negara di taksir mencapai Rp 20 miliar rupiah.

Penulis pikir tidak, tapi entahlah.
bisa saja itu hanya ulah segelintir oknum nakal di korps Adhyaksa tersebut.

Penulis mencoba membedah logika “KEGADUHAN “tersebut.

Melansir definisi Praperadilan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia, Pasal 1 butir 10 adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang.

Salah satunya, sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka.

Melansir dari artikel Hukum online, Praperadilan dianggap sebagai wujud check and balance terhadap penyidik yang selama ini mengatasnamakan penegakan hukum.

Berdasarkan hasil kajian itu, praperadilan terhadap penetapan tersangka dapat mendorong perlindungan yang lebih baik dari tindakan para penyidik di kemudian hari sekaligus menjadi koreksi atas tindakan penyidik.

Lewat praperadilan atas penetapan tersangka, tindakan abuse of power atau penyalagunaan kewenangan oleh penyidik bisa dihindari. tentu saja, hakimlah yang berwenang memutuskannya.

“Ke depan penegak hukum dituntut untuk lebih profesional dan berhati-hati dalam menetapkan status tersangka terhadap seseorang,” demikian dikutip dari kajian Puslit Mahkamah Agung tersebut.

Dari pendapat artikel di atas penulis berkesimpulan justru produk hukum dan profesionalitas korps Adhyaksa yang sedang diuji dalam kasus dugaan korupsi bos PT GFI Franky.

Lantas mungkinkan pihak penyidik Kejaksaan berani dan tega menodai
produk hukum mereka sendiri dengan menerima suap Rp 3 Miliar sebagaimana yang sempat ramai diberitakan?

Entahlah hanya tuhan yang tahu. Sebagai manusia biasa tentunya kita senantiasa memupuk asa dan prasangka baik.

Termasuk dengan mereka yang ditakdirkan menjadi penegak dan pengadil suatu perkara.

Karena jabatan adalah amanah (kepercayaan) yang diberikan kepada seseorang dengan dasar pertimbangan kualifikasi dan persyaratan tertentu yang telah ditentukan.

Amanah tersebut juga nantinya akan mereka pertanggung jawabkan dihadapan tuhan YME.

Kalau jabatan dilakukan dengan cara transaksi, maka jabatan itu akan menghinakan dirinya sendiri. (Red/BE).